Ahlan Wasahlan


Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 05 Agustus 2014

Aqidah

1) “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah di hari kiamat akan memegang seluruh lapisan langit dengan satu jari, seluruh lapisan bumi dengan satu jari, gunung-gunung dan pepohonan dengan satu jari”. Dalam satu riwayat mengatakan: “Air dan tanah dengan satu jari, kemudian Allah menggerakan itu semua”. Maka Rasulullah tertawa, lalu bersabda dengan membaca firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”. (QS Az Zumar [39]:67) Ibn Al Jawzi menjelaskan bahwa “Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar [39]:67) ) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)” 2) Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya hati semua manusia itu berada di antara dua jari dari sekian jari Allah Yang Maha Pemurah. Allah Subhanahhu wa Ta’ala akan memalingkan hati manusia menurut kehendak-Nya. (HR Muslim 4798) Ibn Al Jawzi berkata , “Hadits ini menunjukan bahwa hati setiap manusia di bawah kekuasaan Allah. Ketika diungkapkan “بين أصبعين”, artinya bahwa Allah sepenuhnya menguasai hati tersebut dan Allah maha berkehendak untuk “membolak-balik” hati setiap manusia.

Kamis, 31 Juli 2014

Ungkapan-ungkapan

1)‘Abdullah bin Mubârak rahimahullah mengatakan, “Sanad ini termasuk bagian dari agama. kalau tidak ada isnad, maka siapapun bisa berbicara semaunya.” Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Shahih beliau rahimahullah. 2) Sufyan ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Sanad itu senjata kaum muslimin, jika dia tidak memiliki senjata lalu apa yang dia pergunakan dalam berperang” Perkataan ini diriwayatkan oleh al-Hâkim dalam kitab al-Madkhal. 3) Syaikh Nashir al-Asad : “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10) 4)Al-Hafidz adz-Dzahabi berkata: “al-Walid mengutip perkataan al-Auza’i: “Ilmu ini adalah sesuatu yang mulia, yang saling dipelajari oleh para ulama. Ketika ilmu ini ditulis dalam kitab, maka akan dimasuki oleh orang yang bukan ahlinya.” Riwayat ini juga dikutip oleh Ibnu Mubarak dari al-Auza’i. Tidak diragukan lagi bahwa mencari ilmu melalui kitab akan terjadi kesalahan, apalagi dimasa itu belum ada tanda baca titik dan harakat. Maka kalimat-kalimat menjadi rancu beserta maknanya. Dan hal ini tidak akan terjadi jika mempelajari ilmu dari para guru” 5) Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Minggu, 15 Juni 2014

“Obat Pelerai Galau Ala Tunis”

Hampir setengah jam berada di permukaan kasur. Katup mata ini tak kunjung menutup. Segera kubuka laptop sembari menulis sesuatu yang bisa ditulis. Beberapa saat yang lalu, saya masih mendampingi amir mahasiswa STAINU Tunisia blusukan ke kedai kopi “Tigana” setelah sebelumnya mampir di “mat’am jami” untuk menggenapi kebutuhan perut kami. Ada yang menarik dengan diskusi di kedai kopi tersebut. Terutama tatkala iklim politik turut membubuhi aroma kopi yang tengah kami seruput. Aku yang notabene rabun terhadap politik, hanya bisa menyimak kata demi kata yang membanjiri diskusi di siang bolong tadi.

Barangkali pembaca mengira bahwa sang pencoret (penulis) bakal mengupas mengenai demam politik yang sedang melanda warga negara “bhineka tunggal ika”. Pun, kusanggah: “ tidak”. Aku lebih tertarik membahas tentang kopi yang kami konsumsi. “ Ada apa dengan minuman satu ini, mengapa minuman berenergi ini begitu dicintai oleh para penikmat kopi?” pikirku menyambut rasa keingintahuan yang sedang menyelimuti batinku.

Khalid seorang Abbisynia. Jangan mengaku pecandu kopi kalau tahu sosok yang satu ini. Beliau adalah orang yang tidak sengaja mengadopsi kopi menjadi sebuah minuman. Sekitar 800-850 SM beliau sedang asyiknya menggembala kambing peliharaannya. Ajaibnya, kawanan kambing miliknya masih terjaga setelah matahari terbenam setelah memakan buah yang menyerupai buah beri. Kejadian tersebut menyulut rasa penasarannya. Ia pun mengambil kemudian menyeduhnya. Perihal ini terus menyebar dan tersiar ke daratan benua Afrika lainnya. Meskipun masih mempraktikkan metode seduh tradisional. - Boleh jadi proses pengolahannya masih menggunakan siku, lutut atau dengkul ketika menumbuknya.

Akar kata kopi sendiri sebenarnya berasal dari bahasa arab “qahwah” (قهوة ), yang berarti kekuatan dan mengalami perubahan ke dalam bahasa Turki “kahveh”, kemudian dalam bahasa Belanda disebut “ koffie”, kata inilah yang diserap kedalam bahasa Indonesia dan termaktub dalam KBBI dengan julukan “kopi”. Belanda lah yang pertama kali memperkenalkan kopi di bumi Indonesia ketika mereka menduduki Tanah Air dalam status sebagai penjajah.

Demikianlah maklumat singkat terkait asak muasal munculnya kopi yang kini sering menemani rutinitas harian kita. -Suka maupun duka. Lapang atau ngutang. Khitbah diterima atau bertepuk sebelah tangan. Dan, di setiap keadaan selalu setia memanjakan lidah penikmatnya. Bahkan dalam tidur sekalipun – dalam mimpi maksudnya, dengan syarat baca doa dulu sebelum tidur, yang tidak baca doa, dapatnya air comberan. Tidak heran kalau minuman ini sangat digemari oleh berbagai kalangan tanpa memandang usia siapa yang menyeruputnya. Anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Sekadar info, penulis masih bisa dikatakan remaja,..... remaja yang dipaksakan.

(Kembali ke kedai kopi Tigana) Bakda kuliah, bersama teman-teman, aku sering menyambangi warkop tersebut. Disamping jaraknya dekat dari kampus, juga tarifnya pas dengan kantong mahasiswa yang jauh dari orang tua. Mulai dari duduk, seruput, ngobrol sampai teler, cukup dengan menebus 0,7 DT setiap cangkirnya.

“Maqha”, yang dalam bahasa Indonesia berarti warkop, merupakan tempat favorit yang sering dikunjungi penduduk setempat. Disanalah, rangkuman dari berbagai sisi kehidupan dipresentasikan. Hanya saja tanpa makalah dan tanpa dosen pembimbing. Hadirnya segelas kopi ukuran 200 meliliter di atas meja berdiameter tak lebih dari satu meter, mampu mengusir GALAU akibat wanita idaman di kampung baru saja dipinang sahabat terdekat kita.

Dan, yang unik adalah ukuran gelasnya. Ukurannya mini. Pertama kali melihat wadahnya, kupikir akan habis dengan sekali teguk. Namun, dugaanku keliru. Malah kutak kuasa menghabiskan ketika pertama kali mampir di warkop yang menjadi langganan mahasiswa Indonesia tersebut. Rasanya yang tak lazim membuat kopi ini awet dalam beberapa abad ke depan. Butuh adaptasi untuk menyandang gelar sebagai penikmat kopi khas Tunis tersebut.

Pun, menu yang disodorkan beraneka ragam. Mulai dari “double expreso”, “expreso”, “caposan” dan “direct” . Makin kental kopi yang disuguhkan, semakin nendang rasa yang ditawarkan. Bagi mahasiswa baru, dianjurkan untuk mencoba “direct”. Jika tak ingin mengerjitkan kening kala mencicipi menu yang lain. Mengecap yang lebih pekat hanya akan mengantarkan peminumnya menuju lembah ke-mubadzir-an.

Hingga saat ini, aku masih berkutat pada kelas “direct” ataupun “caposan”. Sesekali aku mencoba level yang lebih tinggi tapi bendera putih selalu kunaikkan. Padahal ketika ada kelas, hampir aku tak pernah luput untuk menyempatkan diri singgah ke kedai yang bertempat di bawah rindangnya pohon beringin tersebut.

Malam kian larut, kantuk mulai menyerang sang pencoret. Kutengarai, kopi yang kuhirup pada siang harinya, tak lagi memberi pengaruh untuk kelangsungan tulisan ini. Kuharap esok hari, lidahku masih diberi kesempatan untuk menjajal cairan hitam yang tadi. Dengan dendangan kisah serta obrolan yang lebih bermanfaat tentunya. Amin.

Andalusia belum Tamat

Musik Tunisia (Malouf)

Tunisia adalah negara kecil yang terletak di belahan utara benua Afrika dan tergolong kawasan Maghrib Arabi. Layaknya Negara-negara lain pada umumya, negara ini juga memiliki keragaman budaya yang diwarisi secara turun temurun dari para pendahulunya. Catatan mengenai malouf berawal setelah penaklukan Spanyol di bawah kepemimpinan panglima perang Thariq bin Ziyad yang kemudian namanya diabadikan menjadi sebuah nama gunung “Giblatar” ( Jabal Thariq). Setelah Spanyol takluk, Islam berkembang pesat di Andalusia. Termasuk musik khas Andalusia yang menjadi penyedap kejayaan era Islam di masa itu. Pada abad ke 15, jenis musik ini menyeberang ke daratan Afrika utara. Bersama dengan Libya, Algeria dan Maroko, Tunisia turut serta mengimpor musik yang kental dengan Nafas keislaman tersebut. Dalam perkembangannya, malouf sangat digemari oleh penduduk setempat. Dengan penduduk yang mayoritas beragama muslim, menjadikan malouf mudah diterima. Tak heran kalau musik tersebut menjelma menjadi musik khas Tunisia dalam beberapa kurun terakhir.

Dalam musik seorang harus berpikir dengan hati, dan merasakan dengan otak. Meskipun berasal dari Andalusia, perasaan dan kreatifitas penduduk lokal dalam hal ini suku Berber mempengaruhi irama malouf. Tak hanya berhenti di situ, jangan lupa kalau kekaisaran Ottoman pernah merajai daratan Tunisia. Perkembangan musik ini tak dapat dipisahkan dengan keberadaan bangsa Turki. Karena itu, beberapa irama musik malouf mirip dengan musik Turki klasik. Malouf yang sekarang agak berlainan dengan malouf yang dimainkan lebih dari 5 abad silam.

Gambaran malouf menyerupai qasidah. Dimainkan dengan beberapa orkestra yang terdiri dari biola, drum, sitars dan seruling. Malouf modern sangat kental dengan irama Berbernya. Akan tetapi kehadiran musik pop perlahan menenggelamkan kejayaan musik yang telah akrab di kalangan masyarakat Tunisia. Perjalanan musik ini memang telah mengalami pasang surut termasuk ketika kekaisaran Ottoman runtuh dan beralih ke tangan protektorat Perancis. Fase peralihan tersebut menyebabkan popularitas malouf menurun. Baru pada tahun 1934, upaya pelestarian musik ini digalakkan dengan mendirikan institut Rasyidia untuk membangunkan kembali malouf yang sempat tertidur dalam beberapa periode. Institut Rasyidia merupakan buah inspirasi dari presentase al-Darwish dan d’erlanger pada kongres Internasional dua tahun sebelumnya dengan tema musik bahasa arab. Sayangnya, d’erlanger yang mempunyai peran besar dalam revolusi musik Arab, meninggal dua bulan setelah kongres di tahun 1932 tersebut.

Kemunculan Rasyidia mendatangkan pengaruh besar dalam kelangsungan molouf termasuk perannya dalam merivisi lirik-lirik yang dianggap senonoh. Di samping membangun ruang kerja di kota Tunis, institut ini juga membantu dalam meningkatkan instrument pada tubuh malouf dengan harapan mampu menarik antusiame masyarakat nantinya.

Setelah Tunisia mengibarkan bendera kemerdekan di tahun 1957, Habib Burgiba yang menjadi Presiden pertama mempromosikan malouf sebagai bagian dari pemersatu bangsa Tunisia. Kemudian direktur dari orkestra Rasyidia mendapat kepercayaan untuk menulis lagu kebangsaan negera tersebut. Beliau adalah Saleh al-Mahdi yang juga diberi mandat untuk memimpin Departemen Musik dan Kebudayaan pada masa itu.

Meski tak setenar dengan K-Pop dari negeri Gingseng yang tengah menjangkiti sebagian kawula mudi Indonesia, musik malouf cukup dikenal oleh khalayak luas. Jelas, kedua jenis musik beda generasi tersebut tak dapat disandingkan. Namun orkestra malouf telah membuktikan pada dunia sebagai warisan budaya yang masih sejuk terdengung sampai abad ke-21.

“Jika esok Piala Dunia dilangsungkan di Tunisia, akankah orkestra malouf mengiringi lagu resmi Piala Dunia?” – menarik untuk dinantikan.